Vice Versa (Chapter 8)

Title : Vice Versa

Author : Navaya

Cast :

Kim Taeyeon

Jung Sooyeon

Hwang Miyoung

Kwon Yuri

Im Yoona

Seo Joohyun

Lee Soonkyu

Choi Sooyoung

Kim Hyoyeon

Genre : Drama, Romance, Crime, Mystery, Thriller

Length : Series

Song List:

Taylor Swift – If This Was A Movie

Madilyn Bailey – Titanium (Cover David Guetta ft. Sia)

Taylor Swift – The Way I Loved You

EXO-K Baekhyun-D.O – What Is Love

Shinee – Keeping Love Again

F(x) Luna-Krystal-Amber – Beautiful Stranger

Desclaimer:

This is just for fun.

Just a pure fiction story.

Imagination. Fantasy. Dream.

 

Copyright. ©Navaya 2012. All right reserved

Please, don’t try to copy this story without prior written permission from the Author.

Thanks 🙂

 – Everything in your heart.. Let me hear it..–

Happy Reading

CHAPTER 8

Author POV

“Pagi, Yoong..” Tiffany menyapa Yoona yang baru bergabung dengan mereka di meja makan. Satu tangannya sibuk mengusap kepala kekasihnya yang tertidur di meja makan.

Yoona tertawa melihat pemandangan dihadapannya. Taeyeon tampak kekanakan dalam posisi tidur itu. Ditambah dengan balutan piyama pink yang sudah jelas pemberian dari siapa, menggelitik Yoona untuk mengganggunya. Namun menyadari siapa yang berada di sebelah Taeyeon membuat Yoona mengurungkan niatnya. Lagipula sepertinya Taeyeon masih sangat mengantuk dan keberadaannya di ruang makan besar kemungkinan karena Tiffany memaksanya bangun untuk sarapan.

“Pagi, Unnie.” Yoona tersenyum membalas sapaan itu lalu menarik satu kursi di sebelah Yuri yang asyik memainkan ponselnya sambil mendengarkan lagu.

“Jessica menitipkan ini untukmu.” Yuri melepas earphone-nya dan memakaikannya pada Yoona.

Yoona mengerutkan dahi dengan bingung. Dia baru mengerti saat Yuri menyodorkan ponselnya pada Yoona. Pada layar ponsel Yuri tampak rekaman video dimana Jessica tengah mengambil gambar dirinya yang tengah tertidur. Yoona yakin ada campur tangan Yuri disitu mengingat ada beberapa angle yang memperlihatkan bagaimana Jessica kembali berbaring disebelahnya dengan kedua tangan memeluk tubuhnya. Tak lama terlihat Jessica bangkit dan merapikan selimut untuk menutupi tubuh Yoona. Tak lupa dia mendaratkan kecupan kilat di dahi Yoona.

‘Yoona-yaaa.. Morning, Baby!!!’ Suara Jessica yang penuh aegyo menyentuh gendang telinganya. Yoona tersenyum melihat tingkah unnie-nya yang mulai kekanakan. ‘Wake up and smile!! Semoga harimu ini menyenangkan, Yoong. Mianhae, aku pergi tanpa berpamitan padamu. Aku tak tega membangunkanmu. Aku ada pemotretan pagi ini jadi kutinggalkan video ini untukmu. Segara bersihkan dirimu dan nikmati sarapanmu. Sampai bertemu sore nanti. Jangan nakal dan baik-baiklah dengan Yuri di dorm. Annyeong..’

“Baik-kan kekasihku?” Yuri tersenyum sesaat setelah video itu berakhir.

“Tidak seperti kau.” Cibir Yoona dengan wajah jahil.

“Ya! Aku yang membantunya mengambil video ini tahu!” Yuri mengeluarkan wajah cemberutnya.

“Aku tahu, Unnie. Gomawo..” Yoona memeluk Yuri dari samping.

“Sudah lebih baik?” Yuri menepuk punggung Yoona dengan gesture santai.

“Better than before.” Yoona mengedipkan satu matanya dengan senyum lebar. Sesaat tampak ceria sebelum kembali dengan raut biasa. “Kau benar. Aku harus bicara dengannya, Unnie. Mungkin setelah kita latihan aku akan makan malam dengannya. Hyunnie berhak untuk bertanya apa saja dan mengetahui apa yang menjadi alasanku meminta berpisah dengannya.”

“Good girl.” Yuri mengacak rambut Yoona.

“Kau yakin dengan keputusanmu itu?” Tiffany bertanya dengan intonasi khawatir.

Yoona menarik napas panjang dan menghembuskannya. “Aku harus yakin.”

“Aku hanya bisa mendoakan yang terbaik untuk kalian berdua, Yoong. Aku menyayangi kalian dan tak ingin kau menyesal pada akhirnya.” Tiffany tersenyum tipis.

“Gomawo, Unnie. Percaya padaku. Kau takkan menemukan suasana awkward layaknya kau dan Taeyeon Unnie yang dulu berpisah. Apalagi teriakan penuh amarah seperti yang Yuri Unnie dan Sica Unnie lakukan dulu. Tidak akan ada.” Yoona tersenyum tipis sambil mengedarkan pandangannya mengelilingi ruang makan. “Dimana yang lain?”

“Hyunnie menginap di rumah orangtuanya. Sooyoung dan Sunny, entahlah. Begitu juga dengan Hyonnie. Kuharap anak itu sedang tertidur nyenyak di rumah orangtuanya.” Tiffany menghela napas berat.

“Apa ada yang kulewatkan semalam?” Yoona bertanya ingin tahu.

“Hyonnie dan Nicky berpisah.” Yuri menjawab cepat.

“Karena video itu?” Yoona menaikkan satu alisnya.

“Kau melihatnya juga?” Yuri tertawa dengan reaksi yang Yoona tunjukkan. Tak ada raut kaget sama sekali dari Yoona.

“Suka atau tidak, terkadang video-video yang bertebaran di dunia maya itu mempengaruhi hubungan kita dengan orang-orang di sekitar kita. Bagus, jika dalam video itu menunjukkan peristiwa yang menyenangkan. Jika sebaliknya maka habislah kita.” Yoona tertawa kecil.

“Yeahhh.. Dan bukan sekali-dua kali kita ikut menjadi korban didalamnya.” Yuri menyeringai membayangkan apa yang pernah terjadi dengan hubungannya bersama Jessica karena video-video yang merugikan mereka berdua.

“Mmm.. Apa tidak sebaiknya kita mencari tahu dimana keberadaan Hyoyeon Unnie?” Yoona mulai menyantap sarapan paginya dengan santai.

“Tidak perlu.” Suara serak dari Taeyeon membuat Yoona mengerutkan dahi. “Saat ini dia aman bersama dengan Sunny dan Youngie.”

Yuri tertawa mendengarnya. Menyadari apa yang membuat Taeyeon tampak mengantuk pagi ini. “Kau menghancurkan kencan mereka?”

“Aku lebih memilih menghancurkan kencan mereka satu malam daripada membiarkan Hyoyeon mabuk sendirian di bar.” Taeyeon mengucek matanya yang memerah.

“Dan kau terjaga semalaman menunggu telepon dari mereka yang mengabarkan keberadaan Hyoyeon?” Tiffany menangkupkan tangannya di wajah Taeyeon.

Taeyeon mengangguk kecil menjawab pertanyaan itu.

“Pantas saja kau mengantuk pagi ini. Kenapa semalam kau tidak membangunkanku? Setidaknya aku bisa menemanimu.” Tiffany mendekatkan kursi mereka lalu meraih tubuh Taeyeon ke dalam pelukannya. Membiarkan kepala Taeyeon bersandar nyaman dibahunya. “Habiskan sarapanmu lalu lanjutkan tidurmu. Aku akan membangunkanmu saat jam makan siang.” Ucap Tiffany sambil menyodorkan piring dengan potongan roti diatasnya pada Taeyeon.

Taeyeon mengangguk dalam diam. Meneruskan kunyahannya sambil memainkan game diponselnya.

“Ya! Makan yang benar dan berhenti bermain game!” Tiffany mengambil paksa ponsel Taeyeon dan berdiri dari kursinya. Berjalan menuju kamarnya untuk menaruh ponsel Taeyeon.

Taeyeon tak membantah meski tak mampu menyembunyikan wajah cemberutnya. Kesal menjadi bahan tertawaan dua membernya yang sejak tadi menjadi penonton dari drama kecil yang dibuatnya bersama Tiffany. Dia pun mengulurkan tangannya untuk mengambil gelas susu yang telah disiapkan kekasihnya. Meneguknya sepertiga lalu berlanjut menghabiskan potongan roti dipiringnya. Sekilas senyum kembali terpampang diwajahnya melihat bagaimana Tiffany memperlakukannya. Tak hanya menyiapkan susu dan sarapan pagi untuknya, Tiffany juga sudah memotongkan roti sarapan Taeyeon dalam potongan kecil agar Taeyeon dapat langsung memakannya dengan garpu. Satu kebiasaan makan Tiffany yang selalu tanpa sadar sering Tiffany lakukan untuknya.

“Ya, Yoong.. Lihat! Belum lama dia cemberut, sekarang dia sudah tersenyum senang seperti orang gila.” Yuri menunjuk ke arah Taeyeon dengan dagunya. Mulai meledek leadernya yang bertingkah layaknya anak remaja.

Yoona tertawa geli melihatnya. Taeyeon mungkin saja bisa membuat para fansnya tergila-gila karismanya. Tapi jika sudah berhadapan dengan kekasihnya, Taeyeon tak ubahnya manusia biasa yang tengah dimabuk cinta. Yang selalu mengiyakan apapun yang diminta Tiffany kepadanya.

“Jangan mengejekku. Aku sedang tidak ingin berdebat.” Taeyeon menghabiskan susunya lalu mengusap bibirnya dengan serbet. Dia kembali menguap sesaat setelah menyandarkan tubuhnya di kursi.

“Minum dulu obat dan vitaminmu, setelah itu kembali ke kamar.” Tiffany muncul dari belakang Taeyeon. Tangannya membawa botol obat dan vitamin yang harus Taeyeon minum setiap harinya. Dengan telaten dia membuka botol-botol itu dan tanpa melihat, dia mengeluarkan butiran obat sesuai dengan dosis yang telah ditentukan. Menaruhnya di telapak tangan Taeyeon lalu mengulurkan gelas air padanya. Satu lagi poin plus dari Tiffany yang membuat Yuri dan Yoona menggelengkan kepala melihatnya.

“This’s my girl!” Tiffany menunduk dan mencium pipi Taeyeon saat Taeyeon selesai meminum semua obat dan vitamin yang dia berikan. “Lanjutkan tidurmu dan jangan menyalakan AC terlalu kencang, arra?”

Taeyeon mengangguk dengan senyum lebar. Dilangkahkan kakinya menuju kamar. Tak menyadari tatapan Yoona, Yuri dan Tiffany terus mengikutinya hingga dia menghilang dibalik pintu kamar.

“Sampai kapan Taeyeonnie harus mengonsumsi semua itu?” Tunjuk Yuri pada botol-botol obat yang berada di atas meja.

Tiffany menggeleng dengan sorot mata sedih. “Aku tidak tahu, Yul. Yang kutahu Taeyeon membutuhkan semua ini untuk tetap sehat. Tapi aku berharap Taeyeon dapat lepas dari semua obat-obatan ini. Cepat atau lambat. Aku tahu dia mulai bosan dengan semua ini.”

“Jangankan dia. Kami yang melihatnya saja merasa tersiksa.” Yoona menghela napas. “Kuharap Taeyeon Unnie dapat kembali sehat seperti sedia kala. Aku tidak tahan jika sakitnya kambuh saat dia lupa mengonsumsi obatnya. Dia tampak sangat kesakitan.”

“I hope, Yoong. Kita doakan saja.” Tiffany tersenyum tipis. Menatap kembali pintu kamarnya yang kini sudah tertutup rapat. Taeyeon mungkin sudah tertidur lelap di dalam sana.

***

Seohyun menatap sekilas gadis dihadapannya. Gadis yang hampir satu jam menyantap makan malamnya tanpa suara. Sudah lebih dari satu setengah jam mereka bersama dan yang tercipta hanya suasana canggung yang tak biasa. Seohyun tahu kegelisahan tengah melanda Yoona. Satu jam berlalu sejak pesanan mereka datang dan makanan di piring Yoona bahkan belum tersisa setengah. Entah apa yang sejak tadi berada dalam pikirannya. Yoona lebih banyak memainkan makanannya dibanding menyantapnya. Dia terus menunduk sambil memainkan garpu dan sendoknya. Seohyun sengaja membiarkan kediaman ini terus tercipta. Yoona yang memulai dan dia berharap Yoona akan memecah suasana yang membuatnya berusaha keras menahan airmata.

Ya, sebenarnya wajar jika dia menangis dihadapan Yoona. Wajar jika dia kembali meminta waktu untuk menjelaskan segalanya. Tapi Seohyun tak ingin menangis. Tak lagi meminta waktu untuk bicara. Apa yang terjadi semalam sudah cukup membuat hatinya terluka. Kali ini sudah sampai pada puncaknya. Yoona mengabaikannya. Bahkan tak bergerak saat sebuah mobil nyaris merenggut nyawanya. Dia sudah tak menghitung berapa kali dia berusaha berbicara dengan dirinya sendiri. Menghibur dirinya sendiri. Menenangkan hatinya agar tidak pecah dihadapan ketujuh unnienya selama latihan mereka berlangsung sore tadi. Dan dia berhasil melakukannya. Melewati satu sesi latihan tanpa menunjukkan wajah mendungnya. Cukup sudah dia menangis semalaman. Membiarkan sesak memenuhi dadanya. Tanpa suara. Saat ini yang dia lakukan hanya mengikuti ke arah mana Yoona akan membawanya.

“Aku mengajakmu kesini untuk menjelaskan apa yang terjadi semalam.” Seohyun mengangkat wajahnya untuk mempertemukan mata mereka. Sekilas diliriknya piring Yoona yang tak nampak berkurang sejak terakhir kali dia melihatnya. “Aku akan mendengarkan apapun yang ingin kau katakan.”

“Apa kau akan mengubah keputusanmu jika aku mengatakan apa yang aku pikirkan juga apa yang kurasakan?” Seohyun membiarkan matanya tetap menatap pada Yoona.

Yoona menggeleng.

“Kalau begitu aku tidak akan membuang waktumu, Yoong. Kau dan keputusanmu sudah menjadi jawaban atas apa yang akan kujelaskan.” Seohyun tersenyum tipis. Miris.

“Tidak adakah yang ingin kau katakan?” Yoona mengerutkan dahinya.

“Tidak jika kau tidak menganggapnya sebagai bahan pertimbangan atas apa yang kau putuskan semalam.” Seohyun menjawab tenang. Sedang di bawah meja, jemarinya meremas erat ujung cardigannya. Menahan airmatanya.

“Aku melakukannya untukmu.” Yoona berbicara pelan. “Aku tidak bisa menjadi kekasih yang bisa membahagiakanmu. Aku tidak pernah ada pada saat-saat tersulitmu. Kau bahkan takut melukaiku jika mengatakan keinginanmu. Aku merasa menjadi kekasih yang tak berguna untukmu, Hyunnie.”

“Aku malu jika berhadapan dengan para namja yang mencintaimu. Mereka melakukan apa saja untuk membuatmu tetap tertawa. Untuk membuatmu selalu gembira tanpa airmata. Yang mereka lakukan jauh lebih baik dari apa yang telah kulakukan padamu selama ini. Mereka memahamimu jauh lebih baik dariku. Mereka mengerti seperti apa Seo Joohyun bahkan tanpa kau perlu bicara. Sedang aku? Hanya bisa membuatmu menangis seorang diri. Aku bahkan tidak menyadari saat kau membutuhkanku. Tidakkah itu menyedihkan?”

Yoona menarik napas dalam. Menjaga dirinya agar tetap tenang. Dia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak menangis dihadapan Seohyun. Tidak ingin menjadi beban apalagi membuatnya tampak menyedihkan. Dia harus kuat, karena baginya hanya dengan cara ini Seohyun akan mendapat kebahagiaan yang seutuhnya.

“Aku tidak bisa menjaga perasaanmu. Terus-menerus menjadikanmu pelampiasan perasaan tanpa memberimu kesempatan untuk mengeluarkan apa yang kau pikirkan. Kekasih macam apa aku sampai kau begitu takut untuk melukai perasaanku? Aku terus berpikir. Selalu berpikir tentang apa yang terjadi. Tentang kau. Tentang kita. Tapi yang kudapat hanya aku yang terus bersandar padamu. Yang selalu menyusahkanmu. Mungkin bagimu aku tak lebih dari anak kecil yang butuh perlindungan dan selalu merengek kekanakan. Bahkan semalam pun aku tak melakukan apa-apa saat mobil itu nyaris menghantam tubuhmu.” Yoona tersenyum pahit. Kembali teringat kejadian semalam. Berbaur dengan mimpi buruknya yang membuatnya tak ingin tertidur untuk semalam.

“Maafkan aku jika keputusanku ini melukaimu. Tapi kuharap kau mengerti. Kau bisa menemukan orang lain yang mencintaimu melebihi aku. Yang bersedia melakukan apa saja untukmu. Aku tidak bisa, Hyunnie. Aku tidak mampu melakukan semua itu untukmu.”

“Kau bukan tidak bisa, Yoong. Aku tahu kau bisa. Kau mampu. Hanya kau belum mencobanya.” Seohyun mengulurkan tangannya. Dengan lembut digenggamnya tangan Yoona. Tangan itu benar-benar dingin dan membuat Seohyun gelisah. Yoona mungkin dapat menunjukkan raut tenang didepannya, tapi tangan dalam genggamannya ini sudah berbicara tentang apa yang sebenarnya terjadi pada Yoona saat ini. Tidak tenang dan ketakutan. Yoona selalu seperti ini jika keadaan itu tengah membayang dalam dirinya.

“Jangan berharap lebih padaku. Aku bahkan tidak mempercayai diriku sendiri. Aku tidak akan mampu melakukan semua itu untukmu.” Yoona menggeleng dan menarik tangannya yang mulai menghangat dalam genggaman Seohyun. Dia tahu hanya tangan itu yang mampu menenangkannya namun mengingat apa yang seharusnya dia putuskan membuatnya tak ingin memanjakan dirinya.

“Apa ini berarti kau tidak lagi ingin mempedulikanku?” Seohyun bertanya pelan. Kembali terluka atas apa yang baru saja Yoona lakukan.

“Aniyo.” Yoona buru-buru menggeleng. Menegaskan bahwa bukan itu yang dia inginkan. “Aku tidak mungkin bisa mengabaikanmu. Aku takkan bisa melakukan itu. Kau tetap menjadi dongsaeng kesayanganku, Hyunnie. Kita akan kembali seperti dulu. Menjadi dongsaeng dan unnie yang saling menyayangi. Kau dapat datang padaku dan bercerita apapun tanpa perlu takut melukaiku. Telingaku selalu terbuka untukmu. Pintu kamarku pun bebas kau masuki kapan saja kau membutuhkanku. Aku tetap unniemu. Tak ada yang berubah selain hubungan kita yang tak lagi menjadi sepasang kekasih.” Yoona tersenyum lebar. Mencoba meyakinkan Seohyun bahwa dia akan tetap ada untuk membantunya.

“Kau mengatakan takkan ada yang berubah. Lalu kenapa kau tetap meminta untuk berpisah? Jika kau merasa kurang memberikan perhatian padaku, seharusnya yang kau lakukan adalah memperbaikinya. Membenahi apa yang seharusnya kita lakukan bersama untuk mempertahankan hubungan kita. Bukan malah menyodorkanku pada orang lain yang kau anggap bisa membuatku bahagia. Kenapa kau menjadi seperti ini? Apa keberadaanku sangat mengganggu untukmu?” Seohyun kembali bertanya dengan sisa pertahanannya.

“Jangan berpikiran seperti itu. Kau sama sekali tidak mengganggu. Justru aku yang merasa menjadi pengganggu dalam hidupmu. Menjadi penghalang kebahagiaanmu. Selalu menyusahkanmu. Aku melakukan ini untukmu. Untuk membahagiakanmu, Hyunnie.” Yoona menggigit bagian bawah bibirnya. Tak menyangka akan mendapat pertanyaan seperti itu dari Seohyun. Dia tahu gadis dihadapannya sangat cerdas. Namun dia tak terpikir akan sebegini menguras energinya saat membicarakan hubungan mereka.

“Bagaimana jika kukatakan kau adalah kebahagiaanku?” Kembali satu pertanyaan dari Seohyun membuat Yoona tercengang. Yoona menghela napas panjang dan mengusap wajahnya.

“Bagaimana jika kukatakan aku tidak akan pernah bisa berhenti melukaimu bila aku tetap menjadi kekasihmu?” Yoona balik bertanya dengan tatapan yang tak lepas dari Seohyun.

“Itu bukan jawaban, Yoong! Itu pertanyaan!” Seohyun memejamkan matanya sejenak. Merasa bersalah karena tanpa sadar membentak Yoona. Satu hal yang tak pernah sekalipun dia lakukan sebelumnya. Kali ini dia membiarkan airmatanya jatuh. Dia lelah. Apa yang terjadi sesaat tadi mengambil alih tubuh dan pikirannya. Menekannya hingga kea lam bawah sadarnya.

“Ini memang bukan jawaban. Aku tahu semua jawabanku tidak akan pernah bisa memuaskan rasa ingin tahumu. Takkan mampu menggambarkan apa yang sebenarnya kurasakan. Takkan mengungkapkan apa yang sebenarnya ingin kukatakan. Ini pilihan dan aku memilih untuk melepasmu. Tolong mengertilah.” Suara Yoona terdengar bergetar. “Uljima, Sayang.. Aku tidak ingin melihatmu menangis. Tidak jika itu karenaku. Tidak lagi, Sayang. Kumohon..” Yoona mengulurkan tangannnya untuk mengusap airmata di wajah Seohyun. Namun tangan Seohyun menepisnya. Dia menggeleng dengan satu senyum yang dipaksakan.

“Jangan lagi memanggilku Sayang jika memang kau sudah memilih untuk melepasku. Panggilan itu terlalu indah untuk kudengar dari mantan kekasihku. Dan aku pun akan melakukan hal yang sama padamu. Tak ada lagi Yoongie dalam hari-hariku. Itu kan yang kau inginkan, Yoona Unnie?” Seohyun menuang wine dalam gelas mereka. Menggoyangnya perlahan lalu menyodorkan satu pada Yoona.

“Aku hanya ingin kau tahu, aku tidak akan pernah bisa menerima keputusanmu, Unnie. Aku tidak bisa. Tapi jika kau meminta, aku tak bisa apa-apa. Aku akan mengikuti apapun maumu. Apapun. Meski aku harus menahan keinginanku sendiri. Asalkan kau bahagia dengan pilihanmu, aku akan berdoa untukmu.” Seohyun memandang gelasnya. Menatapnya dengan sorot sendu yang kembali membuat Yoona mengutuki dirinya sendiri. “Aku tidak akan mengganggumu lagi. Kau memintaku untuk mengerti. Ya, aku akan mengerti. Dan kuharap kau juga mengerti. Aku tidak tahu kapan cinta ini akan berhenti. Kau sudah membuatnya mencapai tempat yang sangat tinggi disini. Jadi biarkan dia tetap hidup sampai waktunya dia pergi.”

Seohyun mengangkat gelasnya.

“Untuk perpisahan kita.” Ucapnya dengan mata berkaca-kaca.

Tangan Yoona bergetar. Habis sudah. Dia mencoba mengumpulkan sisa tenaganya. Mengangkat gelas dan mendentingkannya dengan gelas Seohyun.

“Ya, untuk perpisahan kita.” Ucapnya dengan sorot lembut dan satu senyuman.

Tanpanya, kau benar-benar akan mati, Yoong. Benar-benar mati... Ucapnya pada dirinya sendiri.

***

Tiffany POV

“Bangun, Baby.. Kau harus ke rumah sakit. Dokter Park menunggumu pagi ini.” Aku mencium pipi gadis yang masih meringkuk di tempat tidur. Kurasa dia kelelahan karena latihan kami yang tak berhenti beberapa hari ini. Dia selalu langsung tertidur bahkan saat kami masih berada dalam perjalanan kembali ke dorm.

“Aku tidak mau ke rumah sakit, Fany.” Taeyeon merapatkan selimutnya. Berbalik memunggungiku.

“Hei.. Jam sepuluh nanti jadwalmu menerima IV dan obat, Sayang. Sebentar saja. Aku akan menemanimu sampai serangkaian treatment itu selesai.” Aku mengusap lengannya. Berusaha membujuknya. Selama tiga bulan terakhir, ini pertama kalinya dia menolak untuk datang ke rumah sakit dan melakukan treatment. Cukup wajar. Kurasa dia sudah bosan melakukannya setiap minggu.

“Aku benci rumah sakit! Aku tidak mau kesana! Aku tidak mau!” Aku dapat mendengar gerutuannya meski dia menutup seluruh tubuhnya dengan selimut.

“Aku tidak mau jika kesehatanmu menurun karena terlambat melakukan treatment. Neomu appoyo.. Jika melihatmu sampai terbaring sakit.” Aku memeluknya dari balik selimut. “Aku akan mengabulkan apapun permintaanmu jika hari ini kau ke rumah sakit.” Dengan lembut aku membuka selimut yang menutupinya lalu membalik tubuhnya. Menatap wajah yang menunduk tanpa mau menatapku.

“Aku tidak menginginkan apa-apa. Aku hanya tidak mau ke rumah sakit.” Dia menjawab pelan.

“Wae?” Aku mengusap pipinya yang terasa hangat. Beberapa hari terakhir dia memang cukup sibuk dan membuat jadwal treatmentnya terlewat. Belum lagi kecelakaan minggu lalu. Jika hari ini aku tidak memaksanya ke rumah sakit, bisa dipastikan kondisinya akan semakin menurun karena kelelahan.

“Appoyo~” Dia menggembungkan pipinya. “Mereka menyuntikku berkali-kali. Memberiku IV dan memaksaku tidur selama perawatan. Mereka juga berpesan macam-macam. Melarangku melakukan ini dan itu. Mengharuskanku melakukan ini dan itu. Apa kau tidak lihat kulitku memar karena mereka terus menyuntikku? Aku tidak suka!”

Aku tertegun mendengar semua protesnya. Tiga bulan ini tak sekalipun dia mengajukan protes. Tak sekalipun dia mengeluh dan mengikuti jadwalnya untuk check up. Tapi pagi ini dia benar-benar mengeluarkan isi hatinya.

“Apa sakit sekali?” Aku mengangkat dagunya untuk menatapku. Dia menjawab dengan anggukan.

“Aku bukan pesakitan. Kenapa mereka memperlakukanku seperti aku akan mati besok?” Dia menggigit bibir bawahnya. Satu yang paling tidak aku suka. Aku ingat bagaimana dia akhirnya melukai dirinya sendiri dengan gigitannya dan aku tak ingin itu terjadi lagi.

“Mereka hanya tidak ingin sesuatu yang buruk menimpamu, Sayang. Yang mereka lakukan hanya tindakan pencegahan.” Aku meraih tubuhnya dalam pelukanku. Memeluknya erat.

“Tidak bisakah aku hidup dengan cara yang biasa? Kenapa setahun ini aku terus saja diperlakukan seperti ini? Tidak adil.” Aku mendengar ucapan lirihnya dan membuatku semakin mengeratkan pelukanku. Rasa bersalah kembali menyelubungiku. Ya, kurang lebih satu tahun yang lalu adalah waktu dimana aku memilih untuk berpisah dengannya. Jika benar, setahun yang lalu juga waktu dimana dia mendapat begitu banyak tekanan dan ancaman. Kurasa sangat wajar jika Taeyeon merasa diperlakukan tidak adil.

“Aku khawatir, Sayang. Kau tampak lelah akhir-akhir ini. Aku ingin kau sehat. Setidaknya kau bisa mendapat suntikan vitamin disana.” Aku mengusap kepalanya perlahan.

“Aku baik-baik saja. Lagipula apa harus satu minggu sekali aku melakukan itu? Kurasa satu bulan sekali sudah cukup.” Dia membenamkan kepalanya didadaku. “Ini sangat nyaman, Miyoungie. Aku akan beristirahat di dorm. Aku tidak akan kemana-mana. Peluk aku sampai aku tertidur.” Pintanya.

“Bukankah aku sudah melakukannya hampir setiap hari?” Aku menunduk mencium puncak kepalanya. “Apa kau tak lihat, tanganku menjadi berotot dan kesemutan karena terlalu sering menjadi bantalan kepalamu.” Aku menggodanya dan yang tak kusangka dia langsung menjauhkan pelukannya.

“Mianhae.. Apa aku berat?” Tangannya mengusap lenganku yang tadi menjadi bantalannya dan mengecupnya.

“Ani, aku bercanda. Kau serius sekali.” Aku tertawa lalu kembali meraih kepalanya dan memeluknya. “Tidurlah.”

Aku mengusap lembut punggungnya. Mengecup wajahnya hingga dia lelap dalam tidurnya. Ini masih cukup pagi namun sebagian besar memberku sudah meninggalkan dorm karena schedulenya. Hanya ada aku, Taeyeon, Sunny dan Yuri yang masih berada di dorm.

Seperti biasa, tak butuh waktu lama untuk membuatnya tertidur. Taeyeon sudah tertidur lelap dalam pelukanku. Aku dapat merasakan hembusan napasnya yang teratur. Pelan-pelan aku mengangkat tengkuknya untuk meloloskan tanganku. Segera kuganjal kepalanya dengan bantal paling empuk dan kuselipkan bantal dokoongnya untuk dia peluk. Aku menunduk untuk mencium dahinya. Membelai kulit lembut di wajahnya. Aku sungguh terpesona dengan gadis ini. Aku tak bisa jauh darinya. Tidak bisa untuk tidak melihatnya.

“Ngg..” Dia bergumam dalam igauan rancu.

Aku tertawa melihat ekspresi wajahnya yang sangat kekanakan. Kurasa semakin bertambah usianya, dia semakin tampak menggemaskan dimataku. Aku pun menarik selimut dan menyelubungi tubuhnya. Dengan hati-hati aku keluar dari dalam kamar sambil menenteng ponselku. Ada satu hal penting yang harus kulakukan sebelum kekasihku kembali terbangun.

***

Author POV

“Akh,” Taeyeon mengerang saat menyadari sesuatu menahan gerakan tangannya.

“Saya mohon jangan banyak bergerak, Taeyeon-ssi. Setidaknya sampai cairan infus habis dan kau menyelesaikan treatment ini.” Taeyeon mengerutkan keningnya menyadari suara asing di dekatnya. Dia mengerjapkan matanya beberapa kali sebelum akhirnya menyadari sosok asing berpakaian putih-putih namun cukup familiar berdiri tak jauh dari tempatnya berbaring dan tengah mengecek peralatan infus yang kini terhubung ditubuhnya.

“Kondisimu saat ini dapat dikatakan menurun tapi jika kau banyak beristirahat dan mematuhi semua saran dokter, aku yakin kau akan kembali pulih.” Perawat itu tersenyum pada Taeyeon yang masih menunjukkan wajah bingung.

“Kenapa kau ada disini?” tanyanya pelan. Berusaha menyembunyikan raut wajahnya yang jelas merasa terganggu.

“Dokter Park memintaku berjaga hingga treatment ini selesai. Tiffany-ssi meminta kami melakukan treatment ini di dorm karena kau sedang tidak enak badan.” Penjelasan itu cukup membuat Taeyeon mengerti apa yang sebenarnya terjadi.

“Kau sudah bangun?” Sapaan lembut itu membuat Taeyeon mengalihkan pandangan dan menatap tajam ke arah kekasihnya.

Menyadari suasana yang tidak biasa dari tatapan kekasihnya, Tiffany menoleh kepada sang perawat dan memberinya satu senyuman.

“Maaf, bisa kau tinggalkan kami berdua?” tanyanya sopan.

Perawat itu mengangguk dan berjalan keluar kamar. Tiffany mengantarnya hingga pintu lalu menutup rapat pintu kamarnya. Kembali terfokus pada kekasihnya yang sejak tadi menatapnya tanpa suara.

“Wae?” Suara Taeyeon terdengar dingin.

Tiffany menarik napas panjang sebelum berjalan mendekat dan duduk di tepi tempat tidurnya. Tangannya terulur mencoba menyentuh tangan Taeyeon namun Taeyeon bergerak menjauh. Menghindari sentuhan kekasihnya.

“Kupikir kau mengerti saat kukatakan aku tidak mau ke rumah sakit. Tapi kenapa kau malah memindahkan semua peralatan ini ke dalam kamar? Apa yang sebenarnya kau inginkan?” tanyanya dengan suara bergetar menahan marah.

“Maafkan aku. Aku ingin kau melakukan treatment ini dengan teratur. Kau tidak bisa melewatkannya, Sayang. Kau membutuhkannya.” Tiffany masih berusaha membujuk Taeyeon.

“Aku tidak membutuhkan semua ini!” Taeyeon mencabut kasar jarum dan selang di punggung tangannya dan membuat Tiffany memekik tertahan saat melihat darah menyiprat dari perlakuan kasar itu.

“Taeyeon-ah, kau berdarah..” Tiffany bergerak cepat meraih kotak tissue untuk membersihkan darah di punggung tangan Taeyeon namun Taeyeon kembali menepisnya.

“Jangan sentuh aku!” Dia berdiri dan menatap Tiffany dengan marah.

“Kau harus menyelesaikan treatmentmu, Sayang. Jebal.. Hajima.. Kau membuatku sedih jika seperti ini.” Tiffany berusaha mendekati kekasihnya yang tengah marah. Dia tahu kali ini dia adalah sebab kenapa Taeyeon sampai seperti ini dan dia pun memiliki alasan kenapa dia sampai berani mengambil resiko bertengkar dengan kekasihnya.

“Kau tidak tahu betapa memuakkannya benda-benda ini untukku!” Taeyeon kembali berteriak. “Benda-benda ini menyakitiku!”

Tiffany mengusap wajahnya dan mengambil napas beberapa kali. “Aku tahu.”

“Kau tahu aku tidak suka tapi kenapa kau tetap melakukan ini padaku?!” Bentaknya keras.

“Karena aku tahu kau akan lebih tersakiti jika aku tidak melakukannya saat ini!” Tiffany balas membentaknya.

“Kau bukan aku, jadi kau tidak akan pernah mengerti seperti apa rasanya berada diposisiku.” Taeyeon menatap lurus pada kekasihnya. “Jangan memaksaku melakukan hal konyol ini lagi. Aku tidak ingin melihat semua benda ini saat kembali nanti.”

Taeyeon berbalik mengambil jaketnya dan melangkah keluar.

“Kau mau kemana?” Tiffany bertanya lirih.

“Pergi dan menjauh dari semua ini.” Taeyeon menjawab dingin. Tangannya membuka dan membanting pintu dengan keras tanpa menoleh lagi. Meninggalkan Tiffany yang terpaku seorang diri di dalam kamar yang kini sepi.

“Damn ass..” Tiffany memijat pelipisnya yang mendadak pening. Tak berniat mengejar Taeyeon yang masih dikuasai emosi. Dia tahu, hal yang lebih buruk akan terjadi jika dia tetap memaksa kekasihnya untuk tetap berada disini.

“Aku melakukan semua ini karena aku mencintaimu, Babo.” Dia mengusap ujung matanya yang telah basah. Menarik napas beberapa kali sebelum memutuskan untuk keluar dari kamarnya.

***

“Kau seharusnya tak mengiyakan permintaan mereka, Bunny. Kau bisa mengatakan kita masih ada latihan dan menolaknya begitu saja.” Sooyoung berusaha mensejajari langkah cepat Sunny. Menunjukkan protesnya pada Sunny usai perpisahan mereka dengan Hyomin dan Soyeon. Sekali lagi mereka bertemu dan kali ini Sooyoung tak dapat menghindar lagi. Mereka berempat makan malam bersama dan itu membuatnya kesal.

“Mereka hanya meminta kita meluangkan sedikit waktu untuk makan bersama. Kebetulan latihan kita juga sudah selesai. Jadi kurasa tak ada salahnya jika kita menerima ajakannya.” Sunny menjawab tanpa menoleh. Dia kembali masuk ke dalam mobil.

“Tapi aku tidak suka. Apa kau tidak lihat seperti apa Hyomin memperlakukanmu? Dia benar-benar mendominasimu. Dia berlaku seolah-olah paling mengenalmu. Melayani makan malammu, mengambil apapun bahkan tanpa kau minta. Kenapa dia selalu bersikap berlebihan padamu? Dia kan sudah tahu jika kau tidak lagi sendiri. Kau adalah kekasihku.” Sooyoung menyerocos melanjutkan protesnya.

“Dia tahu dan berhentilah menggerutu. Aku tidak memaksamu untuk ikut makan malam ini. Kau tidak perlu ikut jika memang kau tidak suka.” Sunny mendesah kesal. Menghempaskan tubuhnya pada sandaran mobil. Tak berniat sedikitpun untuk segera menyalakan mesin.

“Apa kau pikir aku akan melakukannya? Melepaskanmu begitu saja? Aku tidak bisa membiarkan kau pergi menemuinya sendirian. Ada aku saja dia sudah bertingkah seperti itu. Bagaimana jika aku tidak ada? Dia pasti akan bertingkah lebih gila padamu!” Sooyoung menatap keluar jendela seolah dengan itu dia dapat membuang semua emosi yang menyesakkan dadanya.

“Kau tidak mempercayaiku? Apa kau pikir aku akan membiarkan Hyomin melakukan segalanya padaku? Untukku?” Suara lirih Sunny membuat Sooyoung menatap kekasihnya.

Sunny tak menatapnya dan hanya memandang lurus ke depan. Sebutir airmata jatuh dipipinya dan membuat Sooyoung langsung memeluknya.

“Mianhae.. Uljima, Sayang..” Sooyoung mengusap kepala Sunny. “Aku tidak bermaksud memarahimu. Aku mempercayaimu. Aku hanya terganggu dengan apa yang kulihat saat makan malam tadi.” Dia mencium puncak kepala Sunny dan mengeratkan pelukannya.

“Apa kau tidak memikirkan bagaimana perasaanku tadi? Kau pikir aku suka? Melihat bagaimana Soyeon Unnie menatapmu? Memeluk dan mencium pipimu. Sedikitpun tak melepaskanmu dari sisinya. Aku pun terluka, Youngie. Tapi aku tahu aku tak dapat menghindar dari semua itu. Dia masa lalumu dan seseorang yang pernah ada untuk membahagiakanmu.” Sunny berucap lirih dalam pelukan Sooyoung.

“Aku mencoba berteman dengan masa lalumu dan berharap kau pun akan berteman dengan masa laluku. Kita tidak bisa mengulang waktu, jadi yang mampu kulakukan hanya itu. Aku hanya ingin kau mengerti, takkan ada yang berubah dengan kita saat ini. Masa laluku takkan bisa mengubah apa yang sudah kita lakukan selama ini. Saat ini hanya kau. Apa kau masih tidak mempercayainya?”

“Aku mempercayaimu. Aku hanya tidak mau berdekatan dengannya. Dia sudah membuatku terluka. Dia meninggalkanku begitu saja dan sekarang dia bersikap seolah-olah tak pernah melakukan kesalahan apa-apa padaku. Belum lagi Hyomin juga berusaha flirting padamu. Aku sungguh terganggu. Bagaimana jika mereka merencanakan sesuatu dan membuat kita berpisah pada akhirnya?” Sooyoung masih menunjukkan kekeraskepalaannya. Menunjukkan ketakutan terbesarnya untuk kembali ditinggalkan.

“Youngie, dengarkan aku.” Sunny mengangkat wajahnya. Mengusap wajah kekasihnya yang masih memerah. Menahan marah. Dia tersenyum dan memberikan kecupan singkat di bibir kekasihnya.

“Kau tahu kenapa aku memilih untuk merasakan sedikit luka dengan menerima ajakan mereka?” tanyanya lembut.

Sooyoung menggeleng. Benar-benar tidak memahami jalan pikiran kekasih mungilnya ini.

“Begitu aku tahu apa alasanmu berbohong saat itu, aku tidak memikirkan sesuatu yang buruk akan menimpa kita. Kau mungkin khawatir bagaimana Hyomin akan kembali menggodaku dan membuatku berpaling darimu. Tapi percayalah padaku, aku takkan melakukan itu padamu. Apa kau lupa, Sunny Bunny-mu ini adalah seorang Taurean, satu tanda yang menunjukkan kesetiaan mereka berada di tempat yang pertama diantara zodiak lainnya.” Sunny mengedipkan sebelah matanya. (No offense.. Gue Taurean, I’m loyal but, menurut gue terlalu setia juga nggak baek sebenernya, trust me :p)

Sooyoung mencibir, “asal kau tahu, tak semua Taurean adalah pasangan yang loyal. Taurean dan Aqua? Mmm… aku tak dapat berpikir apa-apa. Meski kau tidak loyal sekalipun, kurasa kita adalah pasangan yang menarik.”

“Aku jamin aku termasuk dalam golongan mereka yang loyal.” Sunny kembali tersenyum sambil memainkan alisnya dan membuat Sooyoung ikut tersenyum.

“Berbeda dengan kasusku dan Hyomin. Aku yang meninggalkan Hyomin, jadi wajar jika sampai saat ini dia masih bersikap seperti itu padaku. Justru aku yang khawatir padamu. Kau ditinggalkan. Aku tidak tahu seperti apa rasa sakitmu saat itu. Tapi melihatmu seperti ini, melihat bagaimana awkwardnya kau pada Soyeon Unnie, aku tahu, lukamu bisa terbuka kapan saja dan aku tak ingin kau seperti itu. Jangan simpan lukamu. Maafkan dia.” Sunny mengusap lengan Sooyoung dengan penuh perhatian.

“Dia yang pertama dan dia melukaiku begitu saja. Aku sudah memaafkannya. Hanya saja semua itu terlalu menyebalkan untuk kuingat kembali.” Sooyoung menggigit bibir bawahnya. “Justru karena kau yang meninggalkan Hyomin makanya aku takut untuk kau tinggalkan. Meski aku tahu kau sangat setia, kau itu memiliki kecenderungan untuk cepat move on dan mengubur rapat masa lalumu.”

Sunny tertawa geli mendengar penuturan kekasihnya. Semakin mengerti apa yang membuat sikap kekasihnya yang akhir-akhir ini lebih protektif kepadanya.

“Apa yang membuatmu menerima ajakan mereka? Bahkan kau mengatakan kau juga terluka karena sikap Soyeon Unnie padaku. Bukankah akan lebih baik jika kita menolak ajakan mereka?” Sooyoung bertanya ingin tahu. Mengembalikan pembicaraan mereka pada track dimana dia menginginkan jawaban kekasihnya.

“Karena hanya dengan cara itu aku menunjukkan rasa terima kasihku pada mereka. Terutama pada Soyeon Unnie.” Sunny tersenyum tipis saat dilihat kerutan di dahi kekasihnya.

“Aku tidak mengerti.” Sooyoung mengerucutkan bibirnya.

“Babo!” Sunny mengejeknya dengan gaya lucu. “Apa sekarang kau menyesal menjadi kekasihku?”

Sooyoung menggeleng cepat. “Sama sekali tidak.” Jawabnya mantap.

“Karena itu aku merasa berterima kasih pada Soyeon Unnie. Aku ingin tahu, gadis seperti apa yang dulu pernah membuat kekasihku begitu tergila-gila.” Sunny tersenyum tipis. “Mungkin ini terdengar egois atau bahkan aneh saat kau mendengarnya. Namun jika saja saat itu Soyeon Unnie tidak meninggalkanmu, apa mungkin saat ini aku bisa menjadi kekasihmu? Apa mungkin saat ini kita bisa berpelukan disini dengan begitu hangat? Tidak bisa, Youngie. Bahkan mungkin aku tidak akan pernah menjadi bagian dari grup ini jika kau dan dia masih bersama.”

Sunny berhenti sesaat. Membiarkan kekasihnya mencerna kata-katanya.

“Itu juga yang kuinginkan darimu. Menjadikan Hyomin temanmu. Membantunya lepas dari bayang-bayangku. Aku tidak memaksamu untuk ikut merasa berterima kasih padanya. Tapi setidaknya dengan kau yang tahu seperti apa rasanya ditinggalkan, tentu kau tahu seperti apa perasaan Hyomin. Mengerti seberapa sulitnya untuk membuka hatimu untuk kembali jatuh cinta. Hyomin pun mengalami hal yang sama denganmu, Sayang. Dan bukan hal yang menyenangkan jika kalian terus bersikap seperti ini satu dengan lainnya.” Sunny mengusap lembut pipi Sooyoung. “Sekarang jawab pertanyaanku. Berapa lama waktu yang kau butuhkan untuk kembali jatuh cinta pada seseorang setelah Soyeon Unnie meninggalkanmu?”

“Tiga.. mmm empat tahun.” Sooyoung mencoba mengingat berapa lama dia terpuruk oleh perasaannya. “Setelah itu aku benar-benar tak mengingatnya lagi. Pikiranku hanya ada kau.” Dia tersenyum lebar. “Aku tahu ini baru dua tahun untuk Hyomin tapi aku cemburu jika dia terus-terusan menempel padamu. Aku saja tidak melakukan itu pada Soyeon Unnie.” Sooyoung menggelembungkan pipinya.

Sunny tertawa melihat kelakuan kekasihnya. “Kau memang tidak seperti itu tapi sikap awkward-mu itu menunjukkan kau masih memiliki perasaan pada Soyeon Unnie.” Sunny menaruh telunjuknya di bibir Sooyoung saat dilihatnya wajah protes Sooyoung yang bersiap bersuara. “Mungkin kau bersikap seperti itu karena kau terluka. Justru karena itu aku khawatir. Batas antara cinta dan rasa tidak suka itu tipis, Sayang. Justru jika kau bersikap biasa membuatku lebih tenang. Jadi jangan salahkan aku jika aku akan sering menerima ajakan pertemuan dengan mereka. Aku akan melakukan itu sampai kau benar-benar bisa bersikap apa adanya pada mereka. Menjadi Choi Sooyoung yang nakal seperti biasa.” Sunny  menggenggam tangan Sooyoung.

“Aku sudah meninggalkan masa laluku di tempat yang seharusnya. Mengintipnya sesekali untuk mengingat kesalahan apa yang pernah kulakukan sebelumnya agar aku tidak kembali mengulanginya. Kini aku hidup untuk masa depanku. Untukmu. Untuk kita. Aku tidak menginginkan sesuatu yang buruk menimpa kita pada akhirnya. Karena itu aku akan melakukan apa saja untuk mempertahankan hubungan kita.”

“Jinjja?”

“Ne, termasuk mendengar rengekanmu yang selalu memintaku untuk membelikan makanan dan menemanimu mengelilingi mal meski saat itu sebenarnya aku sangat ingin berdiam diri di dorm dan bermain game sepanjang hari.” Sunny memeluk kekasihnya erat-erat. “Aku mencintaimu, Choi Sooyoung.”

“Nado. Aku pun mencintai Lee Soonkyu! Aku sangat mencintai Lee Soonkyu!!” Sooyoung mengulang pernyataan cintanya dengan gaya kekanakan.

“So, jangan rewel seperti tadi lagi. Kau sungguh berisik saat rewel seperti itu. Dorm kita sudah cukup ramai dengan pertengkaran rumah tangga pasangan lain. Haruskah malam ini kita ikut bertengkar sama seperti mereka?” Sunny kembali mengedipkan satu matanya yang langsung dijawab gelengan cepat oleh Sooyoung.

“Andwe! Aku tidak ingin pertengkaran! Aku ingin pelukan, juga..” Sooyoung menatap jahil pada kekasihnya. “Ciuman..” Ucapan Sooyoung terhenti saat bibir Sunny mendarat lembut di bibirnya. Dia membiarkan tubuh Sunny mengambil alih dan mendominasinya. Bersandar penuh tepat di atas tubuhnya. Jika sudah begini dapat dipastikan mereka akan menghabiskan malam panas ini hanya berdua.

***

“Brengsek!” Satu umpatan itu membuat seorang gadis tertawa di tempat duduknya.

“Kali ini apalagi?” Tak lama dia bangkit dan berjalan mendekati Jessica.

“Ini.” Jessica menunjukkan layar ponselnya.

“Barcode?” Gadis itu menaikkan satu alisnya. “Lagi? Dan kembali palsu? Apa dia sedang mempermainkan kita?”

“Jangan bertanya padaku! Aku sungguh tak mengerti untuk apa Hyesuk Oppa mengirim pesan-pesan ini secara berkala.” Jessica menghempaskan tubuhnya pada sandaran kursi dengan wajah kesal.

“Kurasa ini sebuah petunjuk. Kirimkan pesan ini ke ponselku. Aku akan menganalisisnya nanti. Siapa tahu saja kita bisa menemukan sesuatu.” Gadis itu membuka tabletnya sendiri dan mencari gambar barcode yang sudah dia simpan sebelumnya. “Jumlah angka disini juga 15 angka. Wow!! Ada apa sebenarnya?”

Keheningan kembali melingkupi keduanya. Masing-masing sibuk dengan tablet mereka.

“Apa kau sudah tahu arti dari 6-KN?” Jessica mengangkat wajahnya dari layar tabletnya. Mengangkat bahu menjawab pertanyaan gadis disebelahnya.

“Ini menarik. Semakin aku bingung, semakin menantang untuk dipecahkan. Kode itu dan barcode ini sungguh mainan yang menyenangkan.” Gadis itu tersenyum dan membuat Jessica mengerutkan dahi.

“Reaksi yang kau tunjukkan kenapa sama dengannya?”

“Dia? Maksudmu Kim Taeng?” Dia menatap Jessica.

Jessica mengangguk.

“Jujur saja aku pun merasa penasaran. Aku sempat mencarinya dalam situs-situs. Ada hal menarik yang kutemukan. Disini tertulis, ‘On the Earth’s surface, 1kN is about 101.97162 kilogram-force of load’. Jadi kalau 6kN bisa dikatakan hasilnya menjadi 611,82972.” Jessica itu menunjukkan hitung-hitungan yang dia dapat pada gadis disebelahnya.

“Ya! Aku pusing mendengar penjelasanmu. Saat ini seharusnya aku sudah terlelap nyaman di dorm. Latihan tadi benar-benar melelahkan. Bukan malah menemanimu di tempat ini dan memelototi semua angka-angka ini.” Gadis itu menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Menggerutu karena Jessica kembali membuatnya berpikir. “Lalu menurutmu apa hubungannya angka-angka memusingkan itu dengan kita? Ck, aku seperti tidak mengenalmu. Sejak kapan kau suka bermain dengan angka-angka seperti ini?”

“Sejak aku belum berhasil memecahkan apa yang tersembunyi dibalik barcode sial itu.” Jessica tertawa geli melihat reaksi partnernya. “Tidakkah kau melihat sesuatu yang menarik disini?”

“Selain angka 9 yang sama-sama terbentuk jika aku menjumlahkan dua deret angka itu, aku tak menemukan hal lain yang menarik.” Gadis itu menguap dengan wajah tak tertarik.

Jessica melongo dengan gesture santai yang tampak dihadapannya. Sekali lagi menatap kertas coretannya yang lain. Yang sengaja dia simpan jika partnernya tidak dapat menemukan hal menarik apa yang telah dia temukan.

“Kau sudah menemukannya?” Jessica mengerucutkan bibirnya. “Seharusnya kau pura-pura tidak tahu dulu. Jadi aku bisa memamerkan coretanku ini padamu.” Tunjuknya pada kertas pink bergambar ditangannya.

Gadis itu tertawa sambil mengetuk-ngetuk keningnya dengan telunjuk seolah mengatakan, ‘aku jauh lebih pintar darimu’ pada Jessica.

“Tadinya kupikir 6kN itu berarti kita bersembilan. Tapi setelah kupikir ulang, untuk apa dia menaruh 6kN jika 1kN memiliki hasil akhir yang sama dengan 6kN. Kurasa tak ada arti bermakna dibalik angka-angka itu. Bisa jadi itu hanya penyamaran dari kebenaran yang sesungguhnya. Lagipula disitu tertulis 6kN bukan 6-KN.” Jessica menghela napas dan mengangguk mengiyakan kata-kata manitonya.

“Aku sebenarnya bingung dengan cara leader kita berpikir. Bagaimana dia memecahkan kode V menjadi omega, lalu kecepatan dan berakhir dengan satu, tujuh, enam dan delapan. Dan dia memecahkan semua itu dalam kurun waktu kurang dari setengah jam. Jika benar dia seperti itu, aku sedikit menyayangkan dia menjadi bagian dalam grup kita. Seharusnya dia bergabung saja dengan kepolisian.” Gadis itu kembali menggaruk kepalanya dengan wajah tidak puas.

“Apa itu karena dia sudah terbiasa?” Gadis itu mengerutkan dahi dengan pikiran yang tiba-tiba muncul dikepalanya.

“Taeyeon mengatakan semua itu kebetulan juga keberuntungan.” Jessica mengangkat bahu. “Jujur saja aku bukan seseorang yang mempercayai sebuah kebetulan. Keberuntungan mungkin. Tapi kurasa keberuntungan saja tidak cukup. Kim Taeyeon selalu luar biasa jika berada dalam tekanan.”

“Kau mengaguminya?” Gadis itu bertanya dengan serius. Kali ini tak sedikitpun bermaksud menggoda Jessica.

“Aku selalu mengaguminya.” Jessica menjawab gamblang.

“Melebihi kekasihmu?”

“Aku tidak tahu.” Jessica menjawab dengan ekspresi datarnya. Sebuah jawaban yang dia sendiri tidak pernah memikirkannya.

“Kau mengerikan.” Gadis itu menghempaskan tubuhnya sambil menggelengkan kepalanya. “Kuharap kau bisa menjaga hatimu untuk tidak menyakiti salah satu diantara membermu sendiri.”

“Aku tidak pernah berpikir untuk menyakiti siapapun. Aku hanya berpikir dari sisi manusiawi. Kim Taeyeon adalan mantan kekasihku. Dia meninggalkanku disaat aku memberi seluruh hatiku untuknya. Aku bahagia melihatnya bersama dengan Tiffany. Setidaknya aku tahu, Tiffany bisa menjaga dan memberikan cinta kepadanya. Saat ini aku pun mencintai Yuri. Juga dengan sepenuh hatiku. Aku bahkan tidak terpikir untuk melepasnya pergi.”

“Karena itu kukatakan kau mengerikan.” Gadis itu menggigit bibir bawahnya. “Kau.. Bisa mengubah perasaanmu dengan begitu mudahnya. Tetap mengagumi mantan kekasih yang memilih untuk meninggalkanmu sekaligus mencintai kekasihmu yang juga pernah menyakitimu. Bagaimana aku harus mengatakannya? Kurasa kau adalah orang pertama yang kukenal sebagai seseorang yang memaafkan sebuah pengkhianatan.”

“Cinta yang membuatmu bisa memaafkan.” Jessica menjawab tenang. “Bukankah Taeyeon juga melakukan hal yang sama? Mengkhianati Tiffany dan Tiffany pun memaafkannya?”

“Kalau itu beda perkara. Taeyeon tak dapat disebut pengkhianat layaknya kasusmu. Dia tidak memiliki status hubungan saat berskandal dengan orang lain. Dia single saat itu. Setidaknya dimataku, Kim Taeyeon tidak bersalah. Dia hanya berusaha move on dari hubungan sebelumnya. Hanya saja caranya yang mungkin salah.”

“Issshhh.. Kau membelanya.” Cibir Jessica tak terima.

“I’m not.” Gadis itu menggeleng. “Kurasa kau juga berada dalam satu perahu yang sama denganku. Kau bahkan lebih tahu apa yang sebenarnya terjadi saat itu.”

Jessica tertawa kecil. “Anak itu tidak pernah mengkhianati. Hanya saja, dia selalu tanpa sadar melakukan flirting tanpa perasaan.”

Gadis itu mengangguk setuju. “Lalu apa yang dia katakan tentang 6-KN?”

Jessica menggeleng.

“Dia tidak pernah membahasnya. Kurasa dia sudah tidak memikirkannya lagi.”

“Aku berani bertaruh, Dia masih memikirkannya.” Gadis itu tersenyum playful. “Kau tahu apa yang mengerikan dari permainan ini?”

Jessica menggeleng lagi.

“Lazy girl.. Pantas saja jika Kim Taeyeon stress memiliki manito sepertimu. Kau benar-benar malas berpikir.” Dia terkekeh geli saat dilihat raut tidak setuju di wajah Jessica.

“Ya!” Jessica memukul tangan gadis itu dengan kesal. “Aku tahu!”

“Apa?” Gadis itu menaikkan satu alisnya.

“Pengulangan.” Jessica menjawab pelan. “Pengulangan teka-teki adalah hal yang bisa menguntungkan sekaligus merugikan. Mengerikan jika kita belum bisa memecahkan teka-teki sebelumnya dan dia kembali mengeluarkan taka-teki serupa. Contohnya kedua barcode tadi dan bukan tidak mungkin kode seperti 6-KN itu akan terulang lagi.”

“Kau tahu tapi kenapa berpura-pura tidak tahu?” cibirnya sebal.

“Karena memasang wajah bodoh adalah keahlianku.” Jessica tertawa. “Aku sengaja mengujimu. Aku tidak ingin memiliki manito yang bodoh-”

“-sepertimu?” gadis itu memotong kalimat Jessica dengan tawa tertahan.

“YA!” Jessica kembali meneriakinya.

“Aku seperti merasa kita sedang berada di ujung tanduk.” Satu suara pelan itu membuat Jessica kembali pada keseriusannya. “Apa yang terjadi malam itu berada di luar kendali kita. Dua perpisahan dalam semalam. Maaf, tapi kurasa ada baiknya jika saat ini kita lebih terfokus dengan grup ini.”

“Soshi tidak akan pecah hanya karena kejadian malam itu. Kau tahu itu dengan pasti. Perpisahan itu bukannya wajar dalam sebuah hubungan?” Jessica menarik napas dalam dengan mengulum senyum. Memastikan dirinya tak mendapat makian dari gadis dihadapannya.

Gadis dihadapannya tersenyum tenang.

“Aku tahu. Hanya saja semakin lama, aku merasa kita semakin mengerikan satu sama lain.”

“Apa maksudmu?” Jessica mengerutkan keningnya.

“Kau tahu, perpisahan yang terjadi diantara kita sedikit banyak akan berpengaruh dengan kestabilan grup kita. Kau ingat apa yang terjadi saat kau dan Yuri berpisah? Lalu Taeny dan sekarang..” Dia mengangkat bahu. Tak ingin melanjutkan kalimatnya. “Diantara kita sama-sama memiliki rahasia. Yahhh kau tahu itu, Jessica. Semua ini tidak mudah untuk kita. Semua itu bahkan bisa menjadi senjata mereka untuk berbalik menyerang kita.”

“Kau berlebihan. Kau bahkan berpikir terlalu jauh. Taeyeon tak pernah berpikir sampai seperti itu.” Jessica menggelengkan kepalanya.

“Dia memikirkannya. Bahkan sudah mengantisipasinya lebih dulu.” Gadis itu tersenyum seolah bisa membaca pikiran gadis yang saat ini tidak bersama dengan mereka. “Kau pikir untuk apa dia menyembunyikan namamu dari daftar kekasih yang pernah berhubungan dengannya jika bukan untuk menyelamatkan grup kita?”

***

TBC

P.S.

Hai.. hai.. hai..

Apa kabar Readersku yang unyunyakecebadaicetarmembahanamadirodongmacemdugong??? *panjang yeeee..

Jumpa lagi.. Kita berjumpa lagi.. Ya disini.. CILUKBA!

*nyanyinyanyialaMeisye *ketauandehguehidupdijamankapan

Demi apa ini gue apdet lagi dalam kurun waktu kurang dari tujuh hari?? Terakhir kali gue ngelakuin ini waktu ngegarap Runaway booo.. Apdet sampe tiga hari sekali. Sekarang bisa seminggu sekali itu adalah keajaiban yang berarti gue lagi kurang kerjaan. Nggak deng.. mood gue lagi bagus jadinya bisa lebih cepet.

Apa gak bahagia lo bisa ketemu lagi ama gue secepet ini? ;p

Sebenernya gue punya alasan kenapa gue apdet secepet ini..

Pertama, karena chapter ini udah kelar dari kemaren.. ini chapter tercepat selama gue ngegarap VV.

Kedua, karena gue gak bakat nyimpen beginian lama-lama. Bawaannya pengen posting mulu dah kalo ada chapter yang udah kelar. Dan sekali lagi maafkan karena sampai chapter 7 kemarin gue belum sempat ngebalesin komen.

Ketiga, karena gue lagi seneng.. Pas lagi pup, bisa kali nggak perlu lo pertegas elo lagi ngapainnya, Thor.. gue nemu eh maksudnya gue mendadak terpikir banyak teka-teki dan NC baru yang bakal gue hadiahin dengan sukarela untuk Readers.

*Bisa kali lo ngadiahin pewenya sekalian, Thor..

*Bisa.. tapi kirimin G&P ke rumah gue yaaa.. #authorsinting #sakitjiwalo #pemerasangatautempat #talktomyhands #mintadigaplok #PLAK

Keempat, dan ini yang kudu di CAPSLOCK-bold–italic–underline-center..

KARENA SETELAH HARI INI GUE MAU NGILANG LEBIH LAMA DARI SEBELUM-SEBELUMNYA.. HAHAHA #KETAWA-ALA-PAHLAWANBERTOPENG

*Maca cyhh?? Becanda lo, Thor.. Paling ntar juga lo muncul lagi..

*Ciyuuusss.. enelan deh.. Sambit nih!!

*Miapa lo?

*Miamuuuhhhh.. Kecuuuuuupp.. Chu~ #plak hahaha

Jangan kangen yaa.. Gue mau bertapa ke Narnia (lagi). Ntar balik-balik gue oleh-olehin NC deh.. Mungkin kuncinya bisa buat buka chapter 10. Gue berjanji dan tidak akan mengingkarinya.. Gue tau lo pada demen NC pan.. Nggak jarang nyari-nyari plus request NC di wepe-wepe tetangga. Sedikit bocoran.. karna banyak yang bilang kemaren NCnya kegampangan, so kalo jadi, NC selanjutnya kita bakal main pake table periodic.. pada tau pan ya macem apa bentuknya? Yang naek-turun gunung itu noh tabelnya.. Yang unyu-unyu angka sama warnanya. Yang pelajarannya pernah bikin gue dapet nilai paling rendah satu angkatan jaman SMA itu lhoo.. #nyengirunyu

Sekali lagi.. teka-teki gue nggak pernah susah.. beneran deh.. kemaren aja cuma tambah-kurang-kali sama tanggalan yang betebaran di gugel.

Dan kenapa gue selalu minta tolong untuk baca tiap chapternya pelan-pelan dan baik-baik? Itu karena nulisnya susah.. Hahaha nggak kok.. Itu karena bisa jadi ada clue-clue tersembunyi disana.

Udahan ah.. gue berasa ustajah yang lagi ceramah pagi-pagi kalo kebanyakan ngomong..

Selamat menikmati!!

Sampai jumpa!!! ^^